Perasaan tidak
enak langsung menyelimutiku ketika pintu apartemen terbuka. Hampir seluruh ruangan
dipenuhi cipratan cairan kental berwarna merah kehitaman. Dari pandangan
pertama aku sudah tahu kalau itu adalah darah. Rasa mualku semakin menjadi
ketika aku melihat genangan darah yang hampir memenuhi setengah lantai ruangan
apartemen kecil itu.
“Ted? Kau
baik-baik saja?”
“Y-ya. Ya aku
baik-baik saja, Sir Rupert,” kataku sambil berusaha untuk tetap berpijak di
atas tanah.
Inspektur Rupert
melihat wajahku dengan sedikit cemas dan kemudian melanjutkan pemeriksaan lagi.
Jujur, makan siangku sudah hampir ku muntahkan tadi jika ia tidak memanggilku.
Aku memberanikan
diri memasuki kamar apartemen itu, meskipun sebagian dari diriku menolak dengan
keras. Beberapa ahli forensik mengambil sampel darah yang terciprat bebas di
dinding dan juga dari genangan darah di lantai. Ferdrick sibuk memotret
tempat-tempat yang dianggapnya penting, tak terkecuali mayat perempuan yang
terbaring di atas tempat tidur.
Mayatnya terbaring
dengan posisi kaki terbuka dan tangannya terikat di kepala tempat tidurnya yang
terbuat dari besi. Kausnya-yang sekarang telah berwarna merah karena darah, dan
juga celananya masih terpakai di badannya. Hanya sedikit dari bagian sprei yang
terkena noda darah.
Wajahnya adalah
yang paling parah dan paling menjijikkan. Benar-benar remuk karena beberapa
kali dihantam oleh benda tumpul. Kurasa, tak berbentuk adalah kata terbaik
untuk menjelaskannya.
“Rupert, aku
menemukan sesuatu yang menarik disini,” kata Ferdrick sambil menatap
pergelangan tangan mayat itu.
Inspektur Rupert
berjalan mendekati Ferdrick dan ikut menatap pergelangan tangan si mayat.
“Astaga. Luka sayatan
yang cukup dalam. Oh, yang sebelah juga ada.”
“Yap. Sepertinya
luka ini sudah menjelaskan pada kita tentang genangan darah yang ada di lantai.”
“Baiklah, ambil
gambar untuk itu dan juga wajahnya. Oh Tuhanku yang agung, siapa yang tega
melakukan ini semua?”
“Psikopat,
tentunya,” jawab Ferdrick dengan santai sambil memotret mayat wanita itu.
Aku berjalan
perlahan. Berjalan mendekati tempat tidur untuk melihat lebih dekat dan jelas. Perasaanku
semakin tidak enak ketika tidak sengaja menginjak sebuah gumpalan aneh.
“Astaga!” aku
menjerit dengan keras.
“Ted! Astaga,
lihat apa yang telah kau lakukan! Kau menghancurkan barang bukti itu, otak itu!"
“M-maafkan aku,
Jimm. Aku tidak sengaja,” aku mundur beberapa langkah dan Jimm langsung
mengambil gumpalan otak yang hampir lumat karena ku injak.
Oh Tuhan, itu
adalah otak si mayat.
Aku berlari
keluar dan memuntahkan seluruh isi perutku ke kantong plastik yang kubawa. Aku tahu
ini akan terjadi cepat atau lambat. Aku bukanlah polisi yang cocok dibidang
seperti ini. Melihat darah saja aku sudah pusing, apalagi gumpalan otak. Aku takut
akan terjadi sesuatu yang buruk jika aku pingsan nanti.
“Seharusnya kau
tidak ikut hari ini, Ted,” si kulit hitam Gerald terkekeh sambil menepuk pelan
tengkuk ku.
“Setidaknya aku
ingin merasakan pengalaman ini sekali dalam seumur hidupku,” dan aku kembali
muntah.
“Jangan kau
paksa lagi jika memang tidak kuat.”
“T-tapi, Sir
Rupert…”
“Sudah, jangan
banyak bicara. Gerald, segera antarkan Ted kembali ke markas.”
“Siap, Sir!” dan
aku hanya bisa mendesah pelan.
Aku segera
membuang kantong yang penuh dengan makan siangku ke dalam tong sampah. Gerald,
masih terkekeh, memapahku menuju lift di ujung lorong. Tak berapa lama menunggu,
pintu lift terbuka dan kami masuk.
“Kusarankan kau
untuk pindah ke bagian yang lebih mudah, jauh dari hal-hal seperti ini kawan,”
katanya sambil menekan tombol B.
“Tidak semudah
yang kau kira, Ger. Sir Rupert akan membunuhku jika aku meletakkan surat
permohonan pindah di mejanya.”
“Entah nasib
baik atau nasib malang yang menimpamu. Aku saja tidak percaya kau lulus saat
mengikuti test kemarin.”
Aku hanya
menaikkan bahuku sambil tersenyum kecil.
“Jangan-jangan
kau bohong saat kau mengatakan padaku bahwa kau takut pada darah dan mayat?”
“Demi Tuhan,
Ger. Kalau sahabatmu ini berbohong, tidak mungkin aku muntah sebanyak itu di
depan matamu.”
Gerald
mengangguk pelan dan kemudian terkekeh, mungkin menyadari kebodohan dari
pertanyaannya. Aku pun ikut terkekeh, membuang rasa sesak dan mual yang sedari
tadi memenuhi perut dan pikiranku. Rasanya lega setelah bisa keluar dari
ruangan itu, menghirup udara segar, menggantikan bau besi menyengat yang
memuakkan. Begitu lega bisa menatap kembali langit biru dan menghapus semua
bayangan gumpalan otak yang menjijikkan.
Benar-benar lega
karena tidak akan ada yang tahu kalau yang membunuh Marry Jeffersen, mayat yang
begitu memuakkan itu, adalah aku.
Pontianak,
19 April 2016